Rabu, 01 Januari 2014

putih abu :')


Menjelang petang hari Sabtu 18 Juni 2011, aku lewati lagi bangunan itu. Setembok tua ─kalau tidak ingin dibilang lusuh─ SMA Negeri 1 Banjarnegara. Seorang anak perempuan berseragam OSIS, ya lengkap dengan dasi dan sabuknya, menyetop bis sekenanya lalu berujar, “Pucang, Mas…”

Lepas itu dia naik bis dari pintu depan. Beruntung bocah ini tak ditolak oleh sang kernet. Jarak yang begitu dekat kerap kali jadi alasan ditolaknya calon penumpang. Selesai? Belum. Baru dari sini akan kumulai narasi. Melihat bocah SMA tadi, alur pikirku langsung berlari mundur ke memori satu sampai empat tahun silam. Wuuss! Sampai pada rantai-rantai ingatan itu, aku berhenti.

Berhenti pada ingatan kostum norak gila MOS tahun 2007. Kresek lorek lorek helm cething. Kalungnya, kawan, masihkah kau ingat rupanya? Atau kalau tidak, baunya? Ugh. Bawang-cabai-kencur. Dan lalu aksi pentas seni? Hmm, tak kalah norak. Sebutir memori inilah inisiasi dari semua.

Hari-hari setelahnya memang dipenuhi rumus dan teka-teki otak. Tapi selalu ada jeda untuk itu. Antrian kantin Anita yang dulunya jadi prioritas sekarang ratingnya mulai disaingi oleh soto, bakso, dan kupat tahu. Selebrasi dirgahayu, momen berbalut seribu kisah, kreasi, lelah, amarah, air mata, sorak sorai, hingga iuran. Tapi satu hal yang paling kurindu, dentum kaset VO2Max. Setelah lari bong dan volinya Pak Edi, VO2Max selalu alasan bagi beberapa untuk membenci olahraga. “Nut… nut nit nut! Start level two” Ketika salah satu berhenti, maka akan menjadi sunah bagi yang lain untuk lanjut ke level berikutnya. Hehe

Masih segar memori ini dengan bunyi bel masuk, lagu Tanah Air yang baris terakhirnya bahkan jarang sekali kudengar. Bukan satu dua kali mengisi ‘formulir’ siswa terlambat. Bukan satu dua kali ‘rajin’ ke perpus saat jam pertama dan kedua. Bukan satu dua kali ‘mendapat penghargaan’ upacara di depan ruang piket. Kalau sedang beruntung, sprint dari depan bank BKK melintasi Nurul di arena penyeberangan dan sesiapa guru piket yang bertugas jaga, akan sangat berguna.

Belum lagi dengan pencapaian pribadi hasil bakat, ketekunan, ataupun iseng usil jahil masing-masing kita. Daftar pencapaian itu terukir necis dengan judul ‘Apa dan Bagaimana SMAmu?’ Yang jaya lewat prestasi, angka seratus atau piagam-piagammu akan jadi bukti kecermelangan cerebrum dan cerebellum kalian. Yang menggenggam asa lewat ekstrakurikuler, ini mungkin kali pertama kau pegang kamera MD 10.000, hai insan Sinematografi. Ini mungkin membuka wacanamu tentang bagaimana Pramuka kini dipandang, wahai bantara. Ini mungkin tentang bagaimana ukhuwah bisa terjalin lewat cakap kecil dari teras-teras masjid, duhai Rohis ce_ri@. Ini mungkin saat dimana titik, bidang, garis, dan bentuk diduetkan dengan warna dan imajinasi, Cilukba...

Yang temukan sebungkus jati diri, artinya rentang waktu SMA kemarin benar-benar menentukan dirimu sekarang. Yang temukan cita-cita, aku kok yakin kau pasti akan kangen masa-masa merumuskan mimpi, menyulam harapan di bangku kelas, depan alat-alat laboratorium, dan sebelah buku-buku tebal tipis. Yang temukan seseorang, yang kau sebut mereka sahabat, musuh, rival, ataupun beibeh, sudahkah kau ucapkan terima kasih pada mereka? Atas pasrahnya mau dengarkan tumpah ruah cerita, atas kesediaannya mau berkompetisi, atas sukarelanya terimamu apa adanya, atas jasanya PELANGIkan SMAmu.

Aku sadar bahwa akan ada saat dimana itu hanya bisa jadi catatan. Tapi aku juga paham catatan itu ─sekarang dan esok lagi─ akan sering ‘terpanggil’. Bukankah kau masih ingat adegan tiap Jum’at: menggiring siswa laki-laki ke masjid ala Pak Shobari? Bukankah kau masih ingat seringai Pak Sugeng saat kita sedang sibuk-sibuknya sembunyikan HP, rambut gondrong, dan sepatu balet? Bukankah kau masih ingat pada Bu Giring Nidji sahabat aku itulah aku dekat denganku? Pada siapa yang sebagian dari mereka panggil Bunda? Pada siapa yang menyuruhmu mengumpulkan tumpukan surat undangan?

Terima kasih telah hadir pada episode ini. Dan….mengisi

writing by : rahma